Entri Populer

Selasa, 11 Desember 2012

Tawuran menjadi tradisi ?? Pendidikan karakter kah jawabannya?


 

            Di kota-kota besar seperti di Jakarta, Bandung, Surabaya dan Medan tawuran sangat sering terjadi, tidak hanya tawuran antar pelajar namun tawuran antar mahasiswa maupun warga masyarakat pun sering terjadi. Seperti yang telah kita ketahui, tawuran sudah selayaknya sebuah tradisi yang dilakukan oleh sekumpulan orang yang memilih melakukannya untuk menyelesaikan masalah pribadi maupun masalah social yang terjadi.
            Data yang diterima dari Bimmas Polri Metro Jaya, pada tahun 1992 tercatat 157 kasus  perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar, tahun 1995 terdapat 194 kasus dengan korban meninggal bertambah menjadi 13 pelajar dan 2 anggota masyarakat. Sedangkan pada tahun 1998 ada 230 kasus yang menewaskan 15 pelajar serta 2 anggota polisi. Tahun 1999 korban tawuran menjadi 37 orang tewas , jika kita perhatikan jumlah korban tawuran dari tahun  ke tahun makin meningkat serta makin memprihatinkan. Tidak jarang tercatat dalam sehari terjadi lebih dari 2 kali perkelahian di tempat yang sama, sungguh ironi.


            Mungkin banyak dari kita yang heran dengan seringnya tawuran terjadi di lingkungan kita, bahkan tawuran tidak pernah memandang usia.  Apa factor dari tawuran itu sebenarnya, mengapa hingga begitu dahsyat pengaruhnya pada orang-orang yang melakukan tawuran tersebut? Berikut beberapa factor psikologis yang mungkin menjadi  penyebab pecahnya tawuran di masyarakat kita :
1. Faktor Internal
Personal yang terlibat perkelahian biasanya kurang mampu melakukan adaptasi pada berbagai situasi lingkungan yang kompleks. Maksunya, adanya keanekaragaman pandangan budaya yang ada di masyarakat, tingkat ekonomidan semua rangsangan dari lingkungan yang makin lama makin beragam dan banyak. Biasanya situasi seperti ini berdampak tekanan pada tiap orang. Tapi pada personal yang terlibat perkelahian mereka kurang mampu untuk mengatasi dan memanfaatkan situasi untuk  pengembangan diri. Mereka biasanya personal yang mudah putus asa, cepat melarikan diri dari masalah, selalu menyalahkan kesalahan pada orang atau pihak lain, dan menggunakan cara yang singkat untuk menyelesaikan setiap masalah. Pada personal yang sering terlibat perkelahian ditemukan bahwa mereka biasanya memiliki konflik batin, mudah frustasi atau stress, tidak peka terhadap perasaan orang lain dan memiliki perasaan rendah diri (bukan rendah hati) yang tinggi. Mereka biasanya memerlukan pengakuan dari orang lain atau pihak lain tentang kehebatan atau keahlian mereka.
2. Faktor Keluarga
Keluarga yang dipenuhi kekerasan jelas berdampak pada anak atau anggota keluarga lainnya. Mereka biasanya belajar bahwa kekerasan adalah bagian dari dirinya, hingga hal yang wajar jika mereka melakukan kekerasan pula dalam bentuk yang beragam. Sebaliknya, orang tua yang terlalu melindungi anaknya, ketika remaja akan tumbuh sebagai individu yang tidak mandiri dan tidak berani mengembangkan identitasnya yang unik. Begitu bergabung dengan teman-temannya, ia akan menyerahkan dirnya secara total terhadap kelompoknya sebagai bagian dari identitas yang dibangunnya.

3. Faktor Sekolah
Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik siswanya menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. Karena itu, lingkungan sekolah yang tidak merangsang siswanya untuk belajar (misalnya suasana kelas yang monoton, peraturan yang tidak relevan dengan pengajaran, tidak adanya fasilitas praktikum, dsb.) akan menyebabkan siswa lebih senang melakukan kegiatan di luar sekolah bersama teman-temannya.

4. Faktor lingkungan
Lingkungan di antara rumah dan sekolah yang sehari-hari remaja alami, juga membawa dampak terhadap munculnya perkelahian. Adapun juga lingkungan rumah yang sempit dan kumuh, dan anggota lingkungan yang berperilaku buruk (misalnya narkoba). Begitu pula sarana transportasi umum yang semrawut. Juga lingkungan kota (bisa negara) yang penuh kekerasan. Semuanya itu dapat merangsang personal  untuk belajar sesuatu dari lingkungannya, dan kemudian reaksi emosional yang berkembang mendukung untuk munculnya perilaku berkelahi.

5. Faktor Ekonomi
Faktor ekonomi mereka yang pas-pasan bahkan cenderung kurang membuat mereka melampiaskan segala ketidakberdayaan dan ketidakmampuannya lewat kekerasan serta perkelahian karena diantara mereka merasa dianggap rendah sehingga mengikuti hal-hal yang berbau kekerasan agar dapat dianggap sebagai jagoan
Namun sekarang sepertinya factor ekonomi sudah bergeser, seperti pada kasus tawuran pelajar SMA 6 Jakarta dengan SMA 70 Jakarta, tidak bisa dibilang mereka para pelajar yang belajar di sana dan ikut tawuran berasal dari keluarga bawah, ada sebagian yang berasal dari keluarga menengah dan mampu.
Oleh karena itu, mungkin solusi terbaik yang berhubungan dengan substansi daripada emosionalitas-rasionalitas para personel yang terlibat tawuran yang perlu ditekankan lebih banyak, artinya perlu lebih banyak pendekatan psikologis dan mendapatkan pencerahan-pencerahan psikologis dari pihak yang berkompeten, mempunyai keahlian atau kompetensi di bidang itu dan juga jelas  terkait  serta peduli pada mereka. Menanamkan kesadaran bahwa tawuran tidak ada segi positifnya, menanamkan cara berfikir positif tentang bagaimana cara menyelesaikan masalah secara baik-baik, menanamkan faham bahwa mengalah bukan berarti kalah, mengajarkan bagaimana usaha untuk mengendalikan emosi emosi-negatif menjadi emosi-positif atau yang lebih kita kenal dengan semangat.
Digalakkannya kegiatan-kegiatan social yang ada di masyarakat yang melibatkan semua lapisan masyarakat juga sangat membantu menyalurkan energy-negatif menjadi energy-positif. Namun sebenarnya ada satu kunci yang dapat merubah pola pikir dan perilaku individu-individu yang terlibat perkelahian atau pun tindak kekerasan lainnya yaitu sebuah karakter. Seperti yang saya kutip dari sebuah situs, Karakter adalah kunci dari keberhawsilan individu. Dari sebuah penelitian di Amerika 90% kasus pemecatan disebabkan oleh perilaku buruk seperti tidak bertanggung jawab, tidak jujur dan hubungan interpersonal yang buruk. Selain itu terdapat penelitian lain yang mengindikasikan bahwa 80% keberhasilan seseorang di masyarakat umum ditentukan oleh emotional quotient. 

Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat, lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap karakter keberhasilan penanaman nilai-nilai etika dan estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321) situasi kemasyarakatan dengan system nilai yang dianutnya mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika system nilai dan  pandangan mereka terbatas pada kini dan di sini maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.
Semua yang tersebut di atas bersumber dari karakter, karena itu menjadi amat penting dan mendesak untuk dilembagakan suatu pola pendidikan yang menekankan kebaikan karakter. Orang lebih dapat eksis dengan karakter yang baik daripada dengan otak cerdas tapi perilaku tercela. Menurut penelitian Daniel Goleman, kecerdasan otak atau IQ hanya menyumbang 20% bagi kesuksesan hidup seseorang, sedang 80% sisanya diisi oleh kekuatan-kekuatan lain.
Oleh karena itu, karakter merupakan elemen penting dalam membentuk pribadi seseorang, dan untuk saat ini dan sementara ini merupakan solusi yang ideal untuk mencegah dan mengatasi tawuran yang banyak terjadi di Negara ini. Karakter yang terlembaga pada diri seseorang itu tidak lain adalah tumpukan-tumpukan kebiasaan yang bermula dari sesuatu yang kecil saja.